Sabtu, 07 Desember 2013

Sejarah Terjadinya Proklamasi

SERBA-SERBI PROKLAMASI


Pada terbitan majalah triwulanan KVK POSTEL/LVRI No. 83 Th XXIII yang lalu, rekan Wasto Sudiyat  telah memaparkan Kilas Balik Perjuangan sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.   Sebagai bumbu penyegar kali ini saya sampaikan Serba-serbinya dari sisi human interest.     Saya mulai dari masa sebelumnya, tatkalaJenderal Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan Jepang yang bermarkas-besar di Jakarta mengirim surat kepada Kolonel Fujiyama dan menyatakan, “…………ternyata urusan sipil tidak berjalan baik.   Kami sangat memerlukan bantuan dari orang yang paling berpengaruhIni adalah perintah militer supaya memberangkatkan Sukarno.”      Di Bukittinggi, Kolonel Fujiyama memerintahkan anak-buahnya untuk membawa BungKarno dan keluarga ke Palembang melalui jalan darat, yang kemudian diteruskan ke Jakarta dengan menggunakan sebuah perahu-motor bermesin caterpillar.   Setelah empat hari empat malam diombang-ambingkan ombak, perahu-motor akhirnya mendarat di pelabuhan Pasar Ikan, Jakarta, pada tanggal 9 Juli 1942.     Anwar Tjokroaminoto yang pertama menjemput dan kedua bekas ipar itupun berpelukan erat melepas rindu.   Kemudian Bung Karno yang kurus, letih dan mengenakan  jas putih kedodoran  serta celana lusuh memperhatikan Anwar yang mengenakan jas kuning-gading dengan potongan “double breast”.   Diraba-rabanya jas bekas ipar itu, lalu meluncur keluar pujiannya: “Jasmu bagus sekali potongannya”.     Itulah ucapan  pemimpin bangsa Indonesia setelah dibebaskan dari pembuangan dan bertemu kembali dengan teman seperjuangan.    Bukan sebuah retorika  herois sebagaimana sering kita dengar diucapkan oleh tokoh-tokoh dunia pada saat-saat yang bersejarah.

Meskipun berita tentang pemboman Hiroshima oleh Amerika sudah tersiar di Saigon, namun dalam resepsi dan  upacara menyambut rombongan Bung Karno – Bung Hatta,  pimpinan militer Jepang  tidak menunjukkan gelagat risau dan terpukul.  Mereka bersandiwara, kami pun bersandiwara, semua ini adalah sandiwara badut-badutan, kata Bung Karno.    Dalam perjalanan kembali ke Jakarta dari Dalath, Saigon, rombongan Bung Karno hanya diantar oleh seorang penerbang, seorang pembantu  penerbang dan dengan pesawat pembom tua yang sudah berlubang-lubang bekas terkena tembakan.  Ketika akan buang air kecil, karena tidak tersedia toilet Bung Karno berjalan ke bagian belakang  pesawat lalu melepaskan  hajat.   Tiba-tiba angin bertiup kencang melalui lubang-lubang bekas peluru dan terbawalah air seni Bung Karno ke dalam sehingga membasahi teman-temannya.   Dalam keadaan setengah basah  itulah Pemimpin Besar Revolusi Indonesia dan  rombongan tiba di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1945.
 
Keesokan malamnya, 15 Agustus 1945, Bung Karno menerima tamu beberapa orang pemuda.    Mereka mendesak agar Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sekarang juga karena sudah diterima berita Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Permintaan itu ditolak Bung Karno dengan alasan tidak ingin meninggalkan rencana kemerdekaan yang sudah dirintis sebelumnya hanya untuk beralih ke sebuah rencana dadakan yang  persiapannya kurang matang dan berpotensi menimbulkan kurban besar pada rakyat.  Ketika Wikana hendak memaksakan kehendaknya, Bung Karno secara spontan maju merunduk  menyodorkan kepala : “Ini kudukku … silakan kalau mau dipotong …”.    Wikana dan teman-temannya terkesiap, lalu meninggalkan rumah Bung Karno.
Sekitar pukul tiga malam, Sukarni memimpin teman-temannya menjemput Bung Hatta lalu dibawa ke rumah Bung Karno dan meminta Bung Karno segera bersiap untuk dibawa pergi bersama mereka.     Kedua pemimpin bangsa itu dibawa ke Rengasdengklok dimana Sukarni meminta Bung Karno bersedia memproklamasikan kemerdekaan agar setelah itu para pemuda yang sudah bersiap di Jakarta akan mulai melakukan perebutan  kantor-kantor pemerintahan dari tangan Jepang.     Namun kembali Bung Karno menolak dan Sukarni tidak mampu  memaksanya.   Siangnya Ahmad Subardjo datang dari Jakarta untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta sambil memberi jaminan kepada Sukarni bahwa Admiral Mayeda akan membantu para pemimpin Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan di Jakarta.    Sukarni ikut mengantar Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo kembali ke Jakarta.    Di tengah perjalanan dia melihat api berkobar di kejauhan maka Sukarni berteriak kegirangan bahwa revolusi telah dimulai, pemuda telah bergerak dan Jakarta telah terbakar.    Bung Karno dan Bung Hatta minta dicaritahu apa sebenarnya yang terjadi dengan kobaran api itu.    Ternyata hanya petani yang sedang membakar tumpukan jerami di sawah mereka.
Setelah sepanjang malam bekerja keras mempersiapkan proklamasi kemerdekaan di rumah Laksamana Mayeda,  esok paginya Bung Karno tergolek di tempat tidur karena demam.    Dr Suharto memberi injeksi chinineurethan intramusculair dan pil brom chinine.    Meskipun badan masih terasa nggreges  Bung Karno telah bersiap dalam pakaian serba putih  menunggu kedatangan Bung Hatta.     Setelah Bung Hatta tiba, mereka berdua lalu beranjak ke luar diiringi ibu Fatmawati.  Sebuah tiang bambu yang dibuat mendadak dan serba darurat telah ditegakkan pada halaman di kelilingi puluhan orang yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu.     Bendera Merah-putih yang dijahit tangan oleh ibu Fatmawati siap untuk dikibarkan.    Semua berjalan dengan cepat masing-masing bertindak mengisi peran dalam acara yang sederhana jauh dari kemegahan.  Perwira PETA  Cudanco Latif Hendraningrat sigap mengikatkan bendera dan mengereknya naik.   Tidak ada musik mengiringi.   Setelah bendera berkibar  semua menghormat lalu secara serempak menyanyikan lagu Indonesia Raya.    Upacara  khidmat namun sangat sederhana yang dimulai pukul 10.00  pagi itu usai sudah.   Bung Karno masuk ke dalam rumah dan langsung kembali ke kamar untuk beristirahat.    Begitulah adanya dan sebuah Revolusi telah dimulai di Indonesia.
Lima orang opsir Kenpetai berdatangan setelah upacara selesai.   Pemimpin mereka menegaskan bahwa Gunseikan telah melarang keras rencana menyatakan kemerdekaan. “Saya baru saja mengucapkannya”, jawab Bung Karno tenang.     Mereka tercenung, lalu meninggalkan rumah Bung Karno.   Di tempat lain tentara Jepang berusaha merampas negatif film milik Frans Mendur yang mengabadikan detik-detik proklamasi dibacakan.
“Sudah dibawa pergi oleh Barisan Pelopor entah kemana.  Saya tidak memiliki yang lain”, jawab Frans Mendur berbohong.    Tentara Jepang itu marah namun Frans tetap bersikukuh dan mereka pun tidak menemukannya di dalam  tustel Frans Mendur.   Setelah tentara Jepang pergi, Frans bergegas mengambil negatif film yang ditanamnya di bawah sebuah pohon besar pada halaman kantor harian Asia Raya.    Foto proklamasi kemerdekaan RI karya Frans Mendur kemudian tersebar luas dan dapat kita nikmati hingga kini.
Apakah perintah pertama Presiden pertama Republik Indonesia setelah dikukuhkan secara aklamasi ?    Dalam perjalanan pulang Bung Karno berpapasan dengan tukang sate.   Dipanggilnyalah penjaja sate pikulan yang tidak berbaju dan bertelanjang kaki itu.
“Sate ayam lima puluh tusuk”, perintahnya.    Dan itulah perintah pertama yang dikeluarkannya.    Sambil berjongkok lima puluh tusuk sate ayam itu dimakannya bersama beberapa orang yang mengikuti jalannya.    Itu pula pesta atas pengangkatan sebagai Kepala Negara Republik Indonesia yang waktu itu rakyatnya berjumlah 70 juta orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar